Lo sekarang dimana Marsh?
Gila sih lo pasti sukses banget, yakin gue lo bakal jadi rebutan perusahaan!
Gue denger lo di X marsh? Tapi ada yang bilang lo di Y?
G****** P**** kayak lo sih pasti tinggal tunjuk ya mau kemana?
Lah lo gak mau S2 aja? Ga mungkin lo gak keterima!
…dan segala macem ucapan-ucapan lainnya yang lama-lama bikin gue sebel.
Sebulan terakhir ini gue udah kenyang sama yang namanya meratapi nasib. Impian yang gue perjuangkan selama 1 tahun terakhir sejak lulus, semuanya luluh lantak. Penyebabnya cuma hal sepele — sangat administratif dan sangat gak penting dan sangat bisa dihindari, tapi ruined everything segitu cepetnya.
And mind you, bangkit dari kekecewaan mendalam itu susah! Lebih dari sekadar motivator-style speech yang mencoba untuk menenangkan pikiran dengan “Everything’s gonna be okay”. It’s not okay, and it hurts damn much. Geddit?
Kalimat-kalimat yang supposed to be ‘pujian’ di atas bikin gue perih. Orang lain bisa aja blurt it out dengan tanpa dosa, tanpa tau apa efeknya. Setiap ada yang ngomong begitu rasanya gue pengen jerit, “Iya gue tau gue bisa lebih dari ini, tolong jangan bikin gue tambah menyesali nasib sendiri!”.
Yah namanya juga manusia. Kadang-kadang ada perasaan iri, bahkan bingung kenapa orang yang rasanya biasa-biasa aja baik dari segi akademik maupun non-akademik kok bisa dapet kerjaan yang bagus banget. Gue juga gak bisa mencegah berbagai pikiran negatif yang muncul.
“Pas interview dia ngomong apa ya sampe bisa keterima? Dia mau ngeiklanin diri kayak apa? Lah terus selama ini harusnya gue permak CV gue jadi kayak apa? Kenapa sih nasib jahat banget, dan hidup sebegitu ga bisa ditebak? Mungkin dulu harusnya gue jadi anak nerd aja yang ga pernah beraktivitas apa-apa. Yang penting nilai gue meroket. Mungkin dulu harusnya gue ga masuk tekim. Mungkin dulu harusnya gue ikut kegiatannya cuma dibatesin di bidang A, B, C. Yah salah sih, gue bukan anak siapa-siapa, ga bisa main koneksi………….” dan lain-lain sampe butek.
Capek. Capek banget punya pikiran negatif. Bikin keadaan lebih buruk dari yang sebenernya terjadi.
Padahal kalo mau dipikir-pikir, yah… okelah gue menanggung malu sebagai anak cemerlang yang harusnya sekarang gak se-hina ini (menurut orang-orang), tapi toh garis nasib gue menyatakan demikian. Gue bisa apa? The best thing that people can do is talk about you, pity you, or wish you all the best. But they can’t do more than that. Selebihnya, semuanya tergantung gue sendiri. Apakah gue mau tersungkur masuk ke lembah nestapa, atau ngumpulin lagi serpihan semangat dari hati yang patah untuk terus berusaha?
This is my life, not anyone else’s. And if anyone wants to turn it into a better state, that anyone ought to be me.
Hari ini, seiring dengan dimulainya les bahasa baru (ga nyambung sih haha, semacem sok “DUDE, THIS IS THE BEGINNING OF A NEW LIFE!”), gue mau mencoba berpikir positif day by day. Salah satunya dengan menuliskan kekecewaan (semoga terakhir) di blog yang biasanya isinya ber-English dan ber-metaphor ria ini. Kalo ada yang nanya, gue ga mau jawab atau menerangkan apa-apa lagi. Biarlah ini jadi episode kelam kehidupan — satu episode kelam yang force-nya sedemikian kuat sampe bisa bikin gue bangkit se-tinggi rendahnya dia mencampakkan gue.
Kalo hidup minus-in gue 100, gue juga akan plus-in 100. Atau 150. Atau 200. Pokoknya surplus.
Terima kasih udah ‘memuji’ bahwa gue extraordinary dan bisa mencapai apapun yang gue mau, walaupun kenyataan gak sesuai sama apa yang diimpikan. It gives me chill and it wrecks me inside, tapi dibalik itu gue juga jadi punya harapan: that I was someone who always gave her 110% effort to reach her dream and what she wanted, no matter how hard, without caring about the result.
That, is the trait I long to see in my today’s self.